Al-Isfahani menuliskan bahwa makna al-iqtishad yang akar katanya adalah
al-qasd, bermakna istiqomah al-tariq (jalan lurus). Jika disebut kata qasadtu
qasdahu, maknanya nahawtu nahwahu. Nazih Ahmad di dalam kitabnya mu’jam
Al-Mushtalahat Al-Iqtishadiyyatfi Lughat Al-Fuqaha’ menuliskan makna
al-iqtishad adalah al-tawassut wa talab al asad. Muqtasid adalah orang yang
mengambil sikap moderat dan adil di
antara dua sisi.
Ibnul Qayyim memberikan penjelasan yang menarik, menurutnya perbedaan
diantara al-iqtishad dan al-Syuhh, adalah al-iqtishad
merupakan akhlak yang terpuji yang terlahir dari dua sifat mulia; adil dan
hikmah. Adapun as-syuh adalah akhlak yang buruk dan lahir dari buruk sangka dan
kelemahan diri.
Ibnu Katsir menafsirkan qs. Lukman ayat 19 yang berbunyi wa iqsid fi
masyyika wa ighdud min shautik yang artinya berjalanlah muqtashidan
(gerakan yang sedang) tidak terlalu lambat dan tampak malas dan tidak pula kencang
sehingga terkesan berlebih-lebihan. Akan tetapi berjalanlah dengan tenang
(‘adlan wasathan) atau antara lambat dan cepat.
Syaukani menyatakan al-qasd adalah ma baina al-isra’ wa al-batha’
sebagaimana dalam Qs. Lukman ayat 39 tersebut adalah sikap moderat atau
pertengahan antara jalan dengan cepat dan jalan dengan lambat. Al-Maraghi juga
menjelaskan bahwa ayat diatas mengajarkan kepada manusia dalam berjalan
haruslah seimbang. Tidak terlalu lambat (al-bathi’) dan tidak pula terlalu
cepat bahkan terkesan berlebih-lebihan.
Bentuk lain dari kata qasd adalah muqtasid. Kata muqtasid di dalam
Al-Qur’an digunakan di dua tempat yaitu qs. Fathir ayat 32 dan al-Maidah ayat
66. Kata-kata yang qasd dengan berbagai derivasinya juga ditemukan di dalam Q.S
At-Taubah : 42 dan Lukman : 32. Di dalam hadits juga ditemukan pernyataan Nabi
yang menggunakan kata al-qasd. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
At-Tirmizi, Rasulullah bersabda :
Tingkah laku yang baik (al-samtu al-hasan), tidak tergesa-gesa
(al-tu’adah) dan bersederhana (al-iqtishad) adalah satu bahagian dari 24 bagian
sifat-sifat kenabian (an-nubuwwah). Sunan At-Tirmizi Juz II abwab al-Birr wa
as-Shilah.
Kontekstualisasi Ekonomi Islam
Para pakar telah mendefinisikan bahwa ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk
melakukan kajian tentang kebahagian hidup manusia (human falah) yang
dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam (bumi) atas dasar gotong
royong dan partisipasi. Ada juga yang menjelaskan ekonomi Islam sebagai ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang di
ilhami oleh nilai-nilai Islam. Bahkan M Umar Chaftra menyebutkan bahwa ilmu
ekonomi Islam merupakan cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya yang
langka yang sesuai dengan maqasid, tanpa mengekang kebebasan individu
secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi atau
melemahkan keluarga dan solidaritas sosial dan jalinan moral masyarakat.
Ilmu ekonomi Islam mempelajari aktivitas atau prilaku manusia secara aktual
dan empirik baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi berlandaskan
syariah Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah dengan tujuan mencapai
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Kebahagiaan duniawi dan ukhrawi sering disebut
dengan falah itu juga mengisyaratkan adanya keseimbangan.
0 komentar:
Posting Komentar