Jual
Beli dan Syarat-Syaratnya
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan
interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat.
Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah
terjadinya jual beli …
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan
berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek
yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang
dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun
mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan
transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan
terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini
menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan
komprehensif.
Definisi Jual Beli
Secara etimologi, al-bay’u البيع (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan
merupakan derivat (turunan) dari الباع (depa)
karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual
beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana
atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar
menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat
terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul
Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan
bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang
dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang
lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan
keinginan seseorang yang terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual
beli dia mampu untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya
kebutuhan seseorang sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus
Salam, 4/47).
Dalil Disyari’atkannya Jual Beli
Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari
A;-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…” (QS. Al Baqarah: 275)
Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat
manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai
kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan
manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang
transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).
Dalil Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi
terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan
dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa
melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat,
diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung
diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka
kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR.
Muslim: 2970)
Berdasarkan hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang
disyariatkan.
Dalil Ijma’
Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat
urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang
lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek
jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat
akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Dalil Qiyas
Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang
sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang
atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa
kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli
bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang
diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli
mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual
beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur
penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah
merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung
berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan
label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun
pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para
pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian
besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih
keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ
أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ
وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka
berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah
menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab,
“Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita
tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan
perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110,
dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya
shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits
ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash
Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib
memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya
sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam
tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul
Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَا
يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang
faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang
riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul
ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan
beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek
jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek
jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
- Hendaknya kedua
belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada
paksaan. Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara
kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
- Kedua belah
pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah
seorang mukallaf dan rasyid (memiliki
kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang
dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang
dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan
salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik
manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak
cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan
transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan
dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang
diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
- Objek jual beli
(baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci
dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang
yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
- Objek jual beli
merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan
miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا
تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu
Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402
dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang
bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang
dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida
pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini
ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat
beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
- Objek jual beli
dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di
udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini
diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan
menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
- Objek jual beli
dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak
sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual
beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang
yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib
suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ
عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal
bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada
saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu
kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi
V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي
النَّارِ
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan
dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu
Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim
dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Terakhir, Jual Beli Bukanlah Riba
Sebagian orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan
riba, anggapan mereka ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang
mengambil keuntungan yang sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka
menyamakan antara jual beli dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah
menampik anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ
إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al-Baqarah: 275)
Tidak ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk
mengambil keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu
tergantung pada hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap
santun dan toleran (disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal.
87 dengan beberapa penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyetujui tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua
kali lipat dari harga pasar tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing
buat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28
nomor 3642)
Namun, yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk
para ulama salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas
terhadap keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam
usaha. Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para
pedagang, ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak
kentungan yang sedikit, karena kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan
yang besar.”
Adapun seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan
keuntungan dengan menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita
membolehkan pembeli untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang
telah dibayarkan dan mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang
dinamakan dengan khiyarul gabn bisa dilihat pada pembahasan
berbagai jenis khiyar. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Demikianlah beberapa penjelasan ringkas mengenai jual beli dan
beberapa persyaratannya. Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin.
Washshalatu was salamu ‘alaa nabiyyinal mushthafa. Wal hamdu
lillahi rabbil ‘alamin.
Barokallahu fiikum
0 komentar:
Posting Komentar